Friday, April 24, 2015

Tetangga Bawah, Part 1.

Saya masih ingat masa sekitar 2,5 tahun silam saat baru saja pindah ke apartemen kami yang sekarang. Kami menempati apartemen dilantai 5. Dibandingkan dengan apartemen kami yang sebelumnya, apartemen ini 2x lebih besar ukurannya. Dan perabotan kami yang (saat itu) tidak terlalu banyak menjadikan rumah ini terasa sungguh lapang. Terutama jika memiliki cowok kecil usia 3 tahun yang super energetik. Sungguh gak ada capeknya si kecil lari kesana kemari atau berloncatan di sofa, dsb. Pada periode itu kami sedang sibuk2nya bebenah dan menata rumah, oleh karenanya si kecil yang super aktif ini kadang sungguh bikin sakit kepala dengan segala kegaduhannya dan mainannya yang bertebaran di sana sini.

And you know what, belum juga genap satu minggu kita tinggal disini dengan kondisi rumah still in a big mess, suatu sore ada seseorang mengetuk pintu depan. Ternyata tetangga kita persis di unit bawah- si istri- datang buat mengeluhkan suara2 berisik dari lantai kita. Kita jelaskan bahwa kita memang punya anak kecil yang (kita sadari sendiri) sungguh aktif berlarian dan berloncatan didalam rumah meskipun sudah bolak balik kita peringati agar bisa lebih tenang, tidak berlarian dan berloncatan. So, we said sorry to her.
Malamnya setelah makan malam saat Griffin tengah asyik bermain, kita dengar ubin diketuk2 dari bawah. That was the beginning of their annoying code! Sejak saat itu setiap kali mereka merasa terganggu dgn bunyi2an dari lantai kita, mereka mulai mengetuk-getuk dari bawah. Sesungguhnya ini lebih terdengar mengganggu dikuping ketimbang mendengar suara atau keributan yang dibuat Griffin. *Rasanya pengen banget nih nabokin mereka!*

Beberapa hari kemudian disekitar jam 7 malam tetangga bawah kembali datang mengetuk pintu. Kali ini si suami yang datang mengeluh karena (same old story) mendengar Griffin nonstop berlarian dan berloncatan hingga terdengar keras dari unit mereka. Again, we only said the same excuse, the same explanation, and said sorry.

Idiiiih! Saya ini jadi emosi banget sama ini tetangga! Nggak perlu laaah bolak balik komplen! Memangnya kita sendiri didalam rumah gak denger? Memangnya kita membiarkan? Memangnya kita gak pernah ngebilangin anaknya? Emangnya kita ortu apaan?

Oh ya, tetangga bawah kita ini pasangan yang entah sudah menikah atau cuma samen wonen (not my problem) dan mereka tidak memiliki anak. Dan yang menurut gue toleransi mereka itu cetek banget!  Kalo kegaduhan (terutama berulangkali/setiap saat) yang ditimbulkan kita orang dewasa, saya bisa mengerti bisa menerima kalo mereka kesal. Lah, ini ulah anak kecil! Sadarilah bahwa kita juga menyadari dan kita pun agak kesal kalo yang kecil ini gak bisa diam walau sudah berkali kali diterangkan. Anak 3,5 tahun bok! Emangnya saya harus ikat anak saya biar dia diam dan gak berlarian?? Dasar tetangga begoooo!
Saya juga sering kok dengar suara gerabak gerubuk anak2 berlarian dan berloncatan di lantai atas dan jelas2 ditimbulkan oleh lebih dari satu orang anak. Kadang gak cuma sebentar. Dan berisik gak? Tentu saja terdengar agak berisik dari tempat saya yang berada tepat dibawah unit mereka. Memang berisik, tapi kita tidak merasa perlu komplen keatas. Gak merasa perlu ketok2 plafond buat kasih mereka kode biar gak berisik. Yaaa, namanya anak2 kalo mainnya agak ribut mah lumrah. Anak2 dilarang bikin ribut ya susah!

Selama seminggu setelah si suami datang komplen ke rumah- tetangga bawah masih cukup sering ketok2 ubin kita- hingga suatu sore sekitar sebulan setelahnya, si istri datang lagi ketok2 pintu kita. Iya, mau komplen lagi. Kali ini saya persilahkan dia masuk. Well, mungkin dia juga penasaran mau melihat si kecil tukang berisik ini. Dan untuk yang kali ini saya gak mau repot2 minta maaf. Dia harus tauk bahwa saya ini ortu yang peduli dengan anak, yang berusaha menerangkan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Saya tidak membiarkan saja anak2 saya bermain dengan kacau tanpa saya awasi dan peringati. Sejujurnya saya mengharapkan agar mereka (tetangga bawah ini) lebih bisa toleransi.
Saat masuk kedalam saya lihat tetangga saya agak terdiam. Hahaa, mungkin dia baru lihat sendiri sekarang kalo rumah kami itu masih sungguh lapang, belum banyak perabot, dan masih lumayan banyak kardus2 berjejer di dinding. Ruang duduk kami sungguh plong! *Iya kami memang nyantai banget, udah hampir 3 bulan rumah belum juga diisi dan ditata. Makanya si kecil senang berlarian didalam rumah, maklumlah gak punya pekarangan.*
Setelah sejenak melihat-lihat kedalam akhirnya tetangga permisi pulang tanpa banyak bicara lagi selain minta maaf sudah ngeganggu kita. *Right!* Sepertinya saat itu logika nya sudah mulai nyambung, mulai paham mengapa dari bawah terdengar berisik. Iya laah, secara kita kan belum lama pindah kemari dan ruangan kita saat itu masih lapang2 tanpa banyak perabot besar dan tentunya lantai lebih mudah bergetar dan menimbulkan gema suara yang lebih keras ke lantai dibawah kita. Dan setidaknya tetangga udah melihat sendiri kalo si tukang berisik ini cuma cowok kecil manis yang aktif kebanyakan energi, bukannya anak bandel yang gak bisa diatur.

Aaaasss sutralah!
Kalo mereka masih hobi ketok2 lagi dari bawah, saya telpon polisi nih! Grrr ..