Tuesday, March 21, 2006

Tikus Keparat


Udah sekitar 5 hari ini telpon dimeja gue gak berfungsi. Barangkali rusak dan gue juga malas buat cari tahu. Awalnya gue pikir itu colokan line telponnya copot, tapi ternyata kabelnya masih tertancap erat di telpon itu. So, gue berkesimpulan telpon itu memang rusak. Maklum, rekan yang biasa gue andalkan buat nolongin urusan2 seperti ini sudah hampir seminggu gak dikantor, jadi ya gue biarkan saja telpon itu tanpa fungsi tergeletak begitu saja seperti hiasan meja. Sebenernya kerja tanpa ada telpon dimeja itu agak2 merepotkan, gue jadi terpaksa mondar-mandir pake telpon dimeja 'tetangga'.

Tadi pagi disaat gue baru niat minta dibelikan telpon baru, pagi ini rekan andalan gue nongol dikantor. Huaaa, mumpungan banget, gue buru2 minta tolong dia nge-check telpon itu sambil duduk manis. Sebenarnya dia sendiri gak langsung nge-check, tapi pake mondar-mandir dulu. Gapapa, ini kan minta tolong, sesempat dia aja lah.
15 menit kemudian dia nunjukin gue seutas kabel, "Nih, wong line-nya putus dikrokotin tikus", katanya. *sigh* Ternyata bukan telponnya yang rusak. Setelah dia selesai menyambung kabel, telpon masih tetap mati. Begitu juga saat dicoba dengan telpon2 dari meja lain. Kenapa ya? 5 menit kemudian dia menyodorkan kabel lagi kearah gue, "Gimana maok bunyi? Ngrokotinnya di 3 tempat gini kok" Katanya lagi. Aaaarrghh!!! Binatang kepa**t banget. Ngeselin gak sih? Satu line kabel diputusin di 3 tempat!

Siangnya waktu masang MP3 terasa speaker mati sebelah. Oh... Nooo! Lagi2 gue dapati satu kabel speaker putus. Padahal kemaren masih nyala loh. Heran, kantor kok banyak tikusnya! Dan gue tidak melihat adanya kemungkinan buat mereka bersembunyi mengingat ditiap ruangan semua perabot berkolong dan cukup bersih. Wah ngeri juga ya, kalo besok2 giliran kabel2 komputer yang jadi korban.
*I swear i kill those f**king rats once I found them*
Gue geram banget! %&^#$&^*#^&#$%%^

Monday, March 20, 2006

Anak Kecil & Kata Porno



Ini nih gara2 semua orang ribut2 masalah pornografi & pornoaksi, sekarang bahkan anak kecil pun jadi tahu mengucapkan kata "porno". Yah, mungkin mereka tidak betul2 mengerti apa arti porno sesungguhnya [orang2 tua pun banyak kok yang gak ngerti arti porno tapi suka sok mengerti], namun anak kecil yang tiba2 berteriak, "porno! porno!", sungguh- mendengarnya saja membuat gue jadi jengah sendiri.


Contohnya saja Nina. Belakang2an ini dia jadi cukup sering mengucapkan kata 'porno'. Memang, walau jelas2 kata 'porno' itu sendiri sebenarnya bukan kata2 jorok- tapi orang menyikapi lebih kata tersebut karena arti dari kata itu sendiri, seperti halnya orang mendengar kata 'sex'. Dan karena kata2 itu keluar dari mulut anak kecil dibawah umur, rasanya aneh, terdengar tidak menyenangkan dan berlebihan. Sejujurnya gue sangat tidak suka mendengar anak kecil mengucapkannya meski itu diucapkan hanya sebagai lucu2an saja. *Iya, ini nih, thanks to si Oma Irama! Yang memulai urusan goyang dan pakaian ketat sebagai kategori porno!*

Oke, kejadian2 seperti saat melihat bayi adik gue yang baru berumur 4 bulan dimandikan Nina berteriak, "Ih, adek bayi porno!". Atau saat melihat artis perempuan di TV bergaun ketat dengan belahan rendah, Nina pernah berkomentar, "Tante itu porno banget pake bajunya ya?". Atau saat gue berganti baju dikamar dengan Nina, "Waa, mami nih porno!" Katanya sambil tertawa-tawa. Sungguh menyebalkan!

"Nina, porno itu apa sih"
"Telanjang"
"Porno itu bukan sekedar telanjang, sayang"
"Joget2 Inul?"
"Bukan"
"Pake baju seksi?"
"Bukan juga, sayang"
"Jadi apa dong, mami?"
"Makanya Nin, kalo kamu gak tauk arti sesuatu, kamu jangan asal ngomong kayak gitu ya?"


Gue bukan fanatik gila yang disiang bolong demo membawa spanduk bertulisan : "Pakaian ketat = setan". Buat gue pribadi, porno itu bukan hal2 seperti itu- dan gue maklum kalo Nina memang belum mengerti apa itu porno, namun gue sangat sangat tidak suka dengan kenyataan Nina mengetahui segala kata porno [dan meng-asumsikan kata porno itu sesuai pikiran kanak2nya] hanya dikarenakan semua keributan mengenai RUU APP ini yang hampir setiap hari terlihat dan terdengar diberita. Disatu sisi gue tidak ingin Nina menyalahartikan makna 'porno' itu, namun disisi lain pun gue belum ingin membahasnya secara detil dengan anak berusia 7 tahun.

Yup! Ini menyebalkan!


Saturday, March 18, 2006

Kutipan tulisan Goenawan Mohammad

Opini 'RUU Porno': Arab atau Indonesia?
By Goenawan Mohamad


Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernah berkunjung ke Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Pada suatu hari ia ingin berjalan ke luar rumah. Sebagaimana adat di sana, ia bersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah di jalan dengan purdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak.

Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba dua mobil, penuh lelaki, mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata para penumpangnya nyalang memandangi dua perempuan yang seluruh tubuhnya tertutup itu.

"Apa ini?" tanya perempuan Indonesia itu kesal.

Cerita ini nyata--dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU "Anti Pornografi dan Pornoaksi" (kita singkat saja: "RUU Porno"). Cerita ini menunjukkan bahwa dengan pakaian apa pun, perempuan dapat dianggap merangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah?

"Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram," kata Fatwa MUI Nomor 287 Tahun 2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber "nafsu berahi" adalah yang dilihat, bukan yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalah benda-benda (majalah, film, buku--dan perempuan!), sedang yang melihat adalah orang, subyek, yaitu laki-laki.

"RUU Porno" itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki, dengan catatan khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yang berada di dua mobil dalam cerita di atas. Mereka melihat "rangsangan" di mana saja.

Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yang keras), sikap mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata, berjalinan, mungkin karena sejarah sosial, keadaan iklim, dan lain-lain. Saya tak hendak mengecam itu.

Soalnya lain jika semangat "takut terangsang" itu diimpor (dengan didandani di sana-sini) ke Indonesia, atas nama "Islam" atau "moralitas".

Masalah yang ditimbulkan "RUU Porno" lebih serius ketimbang soal bagaimana merumuskan pengertian "merangsang" itu. RUU ini sebuah ujian bagi masa depan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini--yang dihuni umat beragam agama dan adat ini--akan dikuasai oleh satu nilai seperti di Arab Saudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?

Saya katakan nilai-nilai di balik "RUU Porno" datang dari satu golongan "yang belum tentu merupakan mayoritas", sebab tak semua orang muslim sepakat menerima nilai-nilai yang diilhami paham Wababbi itu. Tak semua orang muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi.

Ini pokok kebangsaan yang mendasar. "Kebangsaan" ini bukan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerima nilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga kita menerima Konfusianisme, loncat indah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan kebangsaan adalah kesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga menerima hak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi.

Mari kita baca sepotong kalimat dalam "RUU Porno" itu:

Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat "pornoaksi" (sic!) dikecualikan bagi "cara berbusana dan/atau tingkah laku yang menjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan". Tapi ditambahkan segera: "sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".

Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkait dengan "adat istiadat" dan "budaya kesukuan". Bagaimana dengan rok dan celana pendek yang tak ada dalam "adat istiadat" dan "budaya kesukuan"?

Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yang berjualan di pasar atau lari pagi di jalan, harus "berbusana" menurut selera dan nilai-nilai "RUU Porno". Kalau tidak, mereka akan dihukum karena berjualan di pasar dan lari pagi tidak "berkaitan dengan pelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".

Ada lagi ketentuan: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa".

Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Para pelukis akan waswas, sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil, Rendra, dan Sutardji serta novel macam Belenggu atau Saman. Koreografi Gusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan film kita, yang pernah melahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho, sampai dengan Riri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan, dunia busana, dan media.

Walhasil, silakan memilih:

Monday, March 13, 2006

Akibat Fanatik


Tinggal di Indonesia dari hari ke hari rasanya semakin bikin sakit hati dan depresi. Udaranya semakin panas, segala macam barang dan jasa semakin mahal, ditambah dengan bermunculannya segala macam rancangan2 peraturan bodoh yang terkesan berusaha 'ngatur' moral individual masyarakatnya, belum lagi hiruk pikuk sebuah organisasi fanatik yang meng-atasnamakan agama mereka yang semakin lama semakin mengganggap diri mereka 'dewa'. Merasa paling benar sendiri, dan mereka mungkin sungguh2 yakin bahwa hanya merekalah calon penghuni surga- walau realitanya cara mereka bertindak lebih mirip preman ketimbang orang beragama. Bah, bosen!

Damn, susah banget buat bangga jadi bangsa 'Endonesa'. Setiap kali lihat tv dan koran, bisa dipastikan selalu ada berita2 konyol yang timbul akibat kebodohan oknum2 pemerintah sendiri yang acapkali suka tiba2 sok disiplin- sok menegakkan hukum- dan sok mentaati peraturan, tapi sering malah menyengsarakan orang lain yang gak bersalah, khususnya lagi2 bagi perempuan2. Huuu..

Siapa yang gak sakit hati sih, seandainya kamu sebagai perempuan yang terpaksa malam2 harus menunggu kendaraan umum dipinggir jalan sehabis kerja lembur tiba2 ditangkap aparat dengan tuduhan pelacur? Bayangkan, hanya karena menjadi seorang perempuan yang kebetulan harus berada diluar rumah malam2 = pelacur?? Dasar aparat2 pemda & tramtib idiot! Perempuan2 yang bukan pelacur itu pun saat itu juga pasti berharap sudah tiba dirumah- atau berharap punya mobil pribadi ketimbang sudah malam harus menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Belum lagi dengan resiko menjadi korban kriminalitas!

Lagipula tidak seharusnya aparat hanya menangkapi pelacurnya saja sementara para laki2 brengsek sebagai konsumen mereka dibiarkan bebas berkeliaran. Kalau perlu seharusnya dibuat aturan "hukum kebiri" bagi mereka yang melakukan kejahatan seks (baca : pemerkosa), bahwa penjahat2 seks penghuni penjara diwajibkan di kebiri sebelum mereka dibebaskan. Percaya deh, setiap laki2 yang punya niat asusila pasti jadi berpikir sepuluh ribu kali lipat sebelum bertindak. Tapi apakah bapak2 anggota pansus yang terhormat berani menetapkan aturan seperti itu? Hahhhaa,... dengan resiko kemungkinan mereka sendiri juga bisa di kebiri? Tentu tidak mungkiiin... Walaupun sebenarnya aturan ini pasti efektif banget buat meng-antisipasi pemerkosaan, memberantas pelacuran dan tempat2 maksiat. Tanpa adanya laki2 hidung belang mencari mangsa, dijamin pelacuran & tempat2 maksiat itu tutup tenda semuanya. Dikala aturan itu berlaku, hanya laki2 yang benar2 "sakit" yang masih nekad memperkosa perempuan.

Pelaku, pembuat, dan para pengedar film2 seks memang sudah sewajarnya dikenakan sanksi hukum. Memang harus begitu. Tapi jika UU sampai merasa perlu mengatur bagaimana perempuan berpakaian, itu konyol! Kalo itu sampai terjadi, mendingan hengkang ke negara laen yang lebih liberal aja deh. Iya dong, bebas dari aturan2 yang banyak meng-intimidasi perempuan. Endonesia kan bukan Arab! Ridiculous aja, kalau ada perempuan berpakaian sedikit seksi lantas dianggap tampil mesum dan dianggap bertanggungjawab atas pikiran ngeres "kaum laki2 gak mampu cari pelampiasan" yang tiba2 horny hanya dengan melihat betis, bokong, bahkan hanya dengan melihat lengan tangan perempuan. Seharusnya otak mereka yang perlu dicuci. Gue kenal banyak cowok kok, yang dari dulu hobi melihat gambar perempuan telanjang- termasuk mengkoleksi film2 porno. Tapi gue belum pernah denger berita mereka mereka ditangkap karena memperkosa perempuan. Jadi, itu semua tergantung isi kepala masing2 individu. Kalo bang haji Oma dan gerombolannya merasa terganggu dengan perempuan2 caktik dan seksi disini, kenapa mereka gak pindah ke Arab aja? Dan mungkin mereka2 ini gak tauk, kalo di Arab sana meskipun perempuan berpakaian tertutup "dari ujung ke ujung", perkosaan pun banyak terjadi.

Trus? Apa masih mau nyalahin perempuan?

& BEING A WOMAN IS NOT A CRIME!