Friday, December 31, 2004

the last day on 2004


had a BBQ at Michael's at Gading Kirana
and the rest of today is nothing special

Have no wishes for next year
(well, accept I want to have atleast one more baby- but I'm not dare to hope)
I will see what Allah brings for me

"HAPPY NEW YEAR FRIENDS!
HOPE THAT YOU ALL MORE LUCKY THAN I AM NEXT YEAR"

Wednesday, December 29, 2004

Gak Mampu, Gak Kuat


Sampai hari ini liputan2 mengenai Aceh masih bikin gue terharu. Pada dasarnya gue nggak tega terus2an melihat liputan2 yang memilukan seperti itu. Mungkin sudah ada sebagian orang yang bosan dengan liputan2 itu- tapi keinginan buat mengikuti perkembangan keadaan disana bikin gue terus menyimak semua liputan mengenai Aceh. Bahkan gue sampai perlu buka2 lagi peta Sumatra khusus buat spotting nama2 kota di NAD dan pulau2 disekitarnya *Beginilah kalo orang buta geografi!*

Beberapa hari lalu gue malah terpikir buat join PMI sebagai tenaga relawan di Aceh. Ingin rasanya bisa sedikit bantu2 mereka dengan ikutan PMI membagikan kebutuhan mereka akan makanan, pakaian, atau obat2an. Ini baru keinginan dikepala- dihati. Walau begitu Raymond amat mendukung niat gue. Sayangnya, walaupun ini baru niat, sewaktu gue singgung2 sedikit ke Nina, anak itu sudah menjerit-jerit tidak setuju. Belum2 ributnya minta ampun, seolah gue yang pasti he'eh akan ke Aceh besok. Padahalpun kalo gue beneran daftar di PMI, belum tentu gue di-approve mengingat gue totally inexperience sebagai relawan. Jangankan musibah besar seperti ini, melihat kecelakaan (Oh plis, jangan sampe) dijalan pun belum pernah! Melihat jenazah pun bukannya belom pernah, tapinya kan bukan jenazah dengan kondisi yang rusak?
Orang2 dikantor malah pada meledek, " Plis, jangan deh An, ngerepotin aja loe. Nanti bukannya elo yang bantu gotong2 orang sakit- malah elo yang di gotong2 orang. Semaput." Gitu. Rese ya? Bukannya kasih semangat malah pada mencela aja bisanya. Thank you guys!

Tapi setelah semua dukungan dan celaan itu, barulah terpikir : Apa betul gue sanggup jadi relawan? Dengan segitu banyaknya pemandangan mayat2 disegala arah mata memandang, dan dengan bau mayat dimana-mana mengiringi langkah kita (tsah! Tumben yahud banget bahasa gue!). Dan pelan2 pun gue mulai ragu. *Get real, Anna!* Bukan nggak mungkin malah gue sendiri yang ikutan bingung dan panik disana.

Sekarang ini gue bener2 sudah mengurungkan niat jadi relawan karena ternyata gue sendiri pun susah membayangkan diri gue tabah (setidaknya terlihat tabah) berada disana. Wong usus-nya pendek kok pengen jadi relawan on the spot seh? Apalagi setelah melihat sudah semakin banyak relawan yang datang kesana. Cukup bikin hati gue lega!
Yah, setidaknya kemarin gue ikut menyumbang mereka semampu yang gue bisa. Dan Insyaallah akan terus menyumbang selama rejeki gue masih ada.

Tuesday, December 28, 2004

Dan Gue Ikut Menangis ..

Duh! Musibah bencana memang bisa dateng setiap saat.
Awalnya gue nggak menyangka kalo gempa di Aceh hari Minggu pagi yang lalu itu 'was a big disaster'! Emang inilah kejelekan gue, kurang merhatiin berita2 semacam itu. Karena di Indonesia gempa cukup sering terjadi- gue menganggap bencana kemarin termasuk jenis gempa 'biasa'. Dan kebetulan hari minggu itu hampir seharian gue nggak semenitpun nongkrong didepan TV.
Gue baru 'ngeh' musibah gempa di Aceh kemarin adalah musibah yang luar biasa besar dan mengerikan pada keesokan harinya, Senin malam. Itupun karena gue nggak sengaja dengar 'breaking news' disebuah TV swasta yang mengatakan bahwa korban telah mencapai 4000an jiwa (sekarang ini sudah mencapai sekitar 29.000 jiwa. Imagine!). Saat itu gue sedang menyetrika dilantai beberapa baju yang belum sempat disetrika si embak. Mendengar laporan itu- barulah gue mulai terlongo-longo memandang TV. OMG....

Memang sih, gue nggak punya saudara dan kenalan disana, tapi hati gue benar2 hancur melihat liputan2 di TV. Mayat begitu banyaknya hingga berserakan dimana-mana bagaikan sampah dan memang menyatu dengan sampah dan lumpur, tersangkut ditiang listrik dan diatas pohon, atau yang terkubur dibawah tumpukan puing2. Astaghfirullaahal'azhim! Dalam sekejab ribuan orang kehilangan keluarga dan semua harta benda miliknya. Mereka yang selamat hilir mudik penuh kepanikan, dan ada juga yang terlihat linglung. Hancur rasanya melihat mayat2 anak kecil berjejer dengan kondisi yang menyedihkan. Ini benar2 kiamat versi kecil! Satu kota lenyap dalam sekejap. Rasanya (menurut gue) Aceh emang selalu MPO; cari perhatian mulu- namun sekarang seluruh dunia tauk jika kali ini mereka nggak pernah minta dikirimi bencana tsunami buat cari perhatian. Gue benar2 menangis sesenggukan menatap TV. Dan sumpah- gue nggak merasa perlu malu buat menangis menyaksikan musibah ini.

Beberapa menit setelahnya, gue baru inget kalo seharusnya gue tadi sedang merokok. Tapi dimana pula rokok sialan itu? Gue nggak menemukannya diasbak dimeja rendah disamping gue duduk. Tangisan gue sesaat terhenti. Mana ya? Tanpa asap, tanpa bauk terbakar- akhirnya gue menemukannya terjatuh dari asbak (karena sudah terbakar begitu panjang) dan tergeletak diatas karpet, masih menyala, dan membuat diameter lubang hangus hampir sebesar 2 cm! Gile bener! Perlahan- lahan membakar dan melubangi karpet tanpa kita tahu. Hampir saja gue yang kena musibah terbakar.
Oh, karpet-ku yang malang....

Friday, December 24, 2004

Dan Ibu Guru Mengeluh (lagi)


Kamis kemarin hari terakhir Nina ulangan umum. Dan seperti biasa hari ini gue mengantar dia ke sekolah. Maksud hati sih cuma mau nganter sampe depan pagar sekolahnya (kebetulan anaknya pun memang inginnya gue hanya mengantarnya sampai depan pagar sekolah saja), tapi ternyata wali kelasnya datang bersamaan dengan kita. 

Tiba2 saja ia sudah ada dibelakang gue.
"Mamanya Nina," Sapa bu guru, "Udah lama nggak keliatan. Jarang nganterin Nina ya?"
"Eh, bu Nani. Saya nganter Nina tiap hari kok bu, cuma anaknya selalu minta dianter sampai didepan pagar saja."
"Pantas jarang kelihatan."
"iya." Gue berusaha mengakhiri basa-basi ini. Karena 'as-you-know-why', dari jaman gue masih sekolah karena gue badung dan sering di cari2 guru akibatnya sampai hari gini gue selalu nervous deket2 guru

"Itu lho bu kemaren pas ulangan, Nina itu kan duduknya di bangku belakang barisan paling kiri," Waduh! Belom sempat 'melarikan diri' wali kelasnya sudah memulai keluhannya. "Sewaktu saya baru saja selesai membagikan kertas ulangan dibarisan paling kanan- Ibu tauk'kan berapa lama sih membagikan kertas ulangan dari ujung belakang kiri sampai ujung belakang kanan? Baru saja saya balik badan, saya lihat Nina sudah dimeja saya menyerahkan kertas soalnya." 
Terlihat ekspresi OMG diwajah bu Nani, "Saya sampai terheran-heran dan nggak percaya. Lalu saya check kertas soalnya. Aduh buu... salah semua! Hanya dua yang betul. Akhirnya saya suruh Nina mengerjakannya lagi." 
Haduh, gue yang malu neh! "Anaknya pun sempat2nya ngobrol dengan kawan sebangkunya saat ulangan." Lanjut bu Nani. Haiiyaaahh!!! Gggrrrrr *Nina ini emang kebangetan banget deh!*

Apa gue bilang? Tiap kali gue nongol disekolah dan bertemu dengan ibu2 atau gurunya, umumnya gue pasti menerima berbagai keluhan! Sebel nggak sih? Rasanya gue jadi semakin yakin kalo akhir semester ini gue nggak bakal maok dateng mengambilkan raportnya. Takut diomeliiiin ...
plis deh!


Tuesday, December 21, 2004

*Mengeluh (lagi)*


Yang namanya anak2 bikin ulah memang sudah biasa. Tapi kalo anaknya anak kita sendiri dan kita yang harus mengalaminya setiap saat, sumpe, bisa bikin sakit kepala banget! Lagi2 contohnya Nina. Ulah2nya yang sepele tapi selalu terjadi berulang kali kadang2 bisa bikin gue naek darah. Mauk marah nggak bisa, nggak dimarahi kita yang susah, diberi pengertian pun masuk kuping kanan keluar kuping kiri doang. Hiiiiihh!!!

Tauk setip kan? Penghapus pinsil. Coba bayangin, masak gue harus beli setip pinsil setiap hari sih? Ini cuma hyperbolic, tapi memang setidaknya setiap 2 - 3 hari setip-nya selalu hilang entah dimana. Gak cuma itu, pinsil2nya hampir selalu ada yang patah2 (gak ngerti juga gimana cara dia make pinsil sampai bisa patah2 begitu), sering berkurang jumlahnya (kadang cuma tinggal satu), bahkan beberapa kali gue menemukan pinsil yang gue-nggak-ngerasa-beliin ditempat pinsilnya. Gue percaya ini nggak ada urusannya sama klepto, tapi memang anaknya saja yang suka asal comot pinsil temannya jika pinsilnya sendiri hilang- lalu lupa mengembalikannya lagi. Terus kenapa masalah pinsil dan setip ini jadi pasal? Karena tiap2 mau mengerjakan pe-er atau latihannya dirumah (gue ulangi : setiap kali), dia selalu kelabakan- dan membuat orang2 dirumah ikutan sibuk mencari entah setip-nya atau pinsilnya. Rese kan? Lagi2 siapa yang harus dengan bosannya mencarikannya pinsil dan setip baru? = Gue. Jadi itu sebabnya gue merasa perlu over stock alat2 tulis dirumah.

Begitupun dengan buku2nya. Baru mulai sekolah bulan Juli lalu tapi semua buku2nya sudah pada lecek minta ampun. Mau gue beliin buku yang baru pun tanggung- karena semester kedua tinggal sebentar lagi. Semua bukunya memang gue sampul plastik, tapi itu nggak banyak pengaruhnya. Ada beberapa buku cetaknya yang lembaran2nya lepas dari jildnya *Believe me, itu bukan karena dia rajin membaca bukunya*. Jadi selain bertugas menyediakan pinsil dan setip hampir setiap hari, gue juga harus rajin mengurut halaman per halaman buku2nya yang lepas. Kind of side job, huh? Pernah gue tanya kenapa bisa sampe hancur begitu buku2nya? Jawabnya : masuk selokan. Kenapa juga buku bisa sampe masuk selokan, Nina? Aarrgghh! Selokan itu kan adanya diluar kelas/rumah. Trus bagaimana dengan buku2nya yang lain? Dia cuma angkat bahu. Bzziighh!! Wali kelasnya sendiri pun pernah mengeluhkan masalah buku2nya yang jelek dan bercerai-berai itu. Nina! Anak perempuan tapi kok nggak rapihan ya?

Ada satu lagi, masalah topi sekolah. Belum genap satu semester gue sudah 3 kali beliin dia topi baru. Yang hebat, dasi belum pernah hilang satu kalipun! Gue gak mau dia disetrap gurunya karena nggak pake topi disaat upacara bendera. Terakhir kalinya gue beliin dia topi sekitar 2 minggu yang lalu, dan yang ternyata 3 hari kemudian topinya yang lama tiba2 saja ditemukan lagi didalam mobil- nggak jelas juga disebelah mananya mobil karena selama 3 hari itu kita nggak pernah melihat ada topi keleleran didalam mobil.
Dan ini semua bukan masalah pemborosan uang-nya. Tapi ini soal kecerobohan dan ketidak disiplinan si Nina itu loh. She is so careless! Kita sampe udah pada bosen blablabla kasih pengertian ke anaknya agar lebih bertanggung jawab dengan barang2nya sendiri, tapi hal2 remeh-temeh seperti ini dijamin terulang lagi dan lagi.

Oke, ini hari ke-2 Nina ulangan umum (5 hari) semester pertama. Sumpe, gue yang depressed! Padahal anaknya nyantai2 aja- siap nggak siap, bisa nggak bisa. Gue selalu ketakutan dia asal mengerjakan soalnya, terburu-buru, atau tidak teliti. Tapi yang paling gue takuti kalo dia sampai keluar kelas sebelum waktunya selesai cuma karena dia merasa nggak bisa mengerjakan soalnya dan merasa nggak penting buat berlama2 memikirkan soal yang dia nggak bisa. Parno nggak sih? Susahnya gue nggak bisa mengawasi dia di sekolah. Padahal punya anak seperti Nina memang idealnya gue jadi fulltime mother- kalo perlu seharian ikutan nongkrong diluar kelasnya mengamatinya belajar.

**Ini kenapa jadi ngomongin anak melulu?

Wednesday, December 08, 2004

GAK NYAMBUUUNG ..

Gue jadi teringat,

Telpon bunyi.
"An?" Panggil suara diseberang sana.
"Yak! Udah nyampe dimana loe Mel?"
"Sorriiiii, gue baru keluar nih. Ini lagi turun di lift."
"Bukunya loe bawa kan?"
"---"
"Bukunya loe bawa, nggak?"
"tut, tut, tuutt,... "
Sambungan sudah diputus.
Geblek! Nelpon cuma mo lapor gitu doang? Beuh,...

10 menit kemudian gue telpon balik.
"Udah sampe mana Mel?"
"Aduh mak, kayaknya macet banget nih!"
"Emang kapan pernah nggak macet? Udah, buruan!"
"Tungguin ya?"
"Bukunya loe bawa nggak?"
"Bawa. Bawa."
"Di Excellso ya Mel? Inget."
"---"
"Kayaknya sih ini dilantai dua atau dilantai tiga. Tanya orang aja kalo gak tauk."
Gue cuma sekedar menebak- nebak.
"---"
"Mel?"
Sambungan sudah dia putus lagi! BT banget.

Hampir 30 menit kemudian dia telpon.
"An, gue udah nyampe nih. Lantai berapa tuh?"
"Kalo nggak dilantai dua, ya dilantai tiga. Atau loe tanya sama orang aja deh."
Sepertinya gue harus mengulang apa yang udah gue bilang lewat telpon setengah jam yang lalu.

Baru juga 5 menit dia kembali telpon.
"Gimana sih loe? Satpam bilang nggak ada kafe Excellso disiniiiii...."
"Haaa? Itu satpam baru mulai masuk kerja hari ini kali tuh."
"Ini gue dilantai dua, tauuuk! Barusan ke lantai tiga juga gak ada tuh yang namanya kafe Excellso. Ini depstore semua neh."
"Eh! Jangan matiin telpon dulu, denger, loe sebenernya dimana sih?"
"Gue dilantai dua!"
"Iya dimana? BlokM Plaza?"
Gue jadi mulai ragu sama dia
"Sarinah Thamrin"
"Sarinah Thamriiiin???"
Aduh! *TEPOK JIDAT*, "Yang bilang di Sarinah Thamrin tuh sapaa???"  Busset deh dia ini bener2 tulaliiittt .. Pantes aja gak ketemu!

Intinya, hari itu kita batal ketemu.
Pikir aja sendiri : Gue nunggu dia di BlokM Plaza - dia nyusul gue ke Sarinah Thamrin! Miskomunikasi. Acara ketemuannya gagal dengan sukses!
Lagipula sudah terlanjur capek jasmani dan rohani.
Sebenernya sapa sih yang bego? Bikin janji kok kupingnya gak dipasang? 


Aaarrrggghhh!!!!


Thursday, December 02, 2004

Sentimentil

Mungkin nggak banyak orang yang suka membayangkan atau memikirkan sesuatu hal (yang terlihat sehari -hari) yang nggak ada hubungannya dengan diri mereka sendiri dengan begitu dalem seperti gue. Segala hal yang membuat emosi gue tergerak- otomatis meresap dikepala gue untuk selanjutnya terus gue pikirin. Bisa hal2 yang bikin gue panas (sampe2 pengen banged mukulin orang, hehhehee..) bisa juga hal2 yang bener2 bikin gue haru ingin bisa sedikit membantu.

Kalo ada yang nanya gue mengenai hal2 apa yang benar2 paling membuat gue terenyuh haru, sekarang gue tauk jawabannya : Kaum tuna netra. Kenapa? Buat gue pribadi, menjadi miskin- menjadi yatim piatu- menderita cacat fisik lainnya (tunarungu, tunawicara, dsb) dan kekurangan2 manusia lainnya, itu masih jauuuuuh lebih beruntung dibandingkan mereka yang tidak dapat melihat, karena bagaimanapun kita semua tahu seperti apa warna merah itu, seperti apa rupa langit itu, seperti apa indah dan buruknya dunia, seperti apa wajah ayah dan ibu kita, seperti apa wajah orang2 yang kita sayangi, yang kita kenal, dan bagaimana mereka terlihat dengan segala ekspresi diwajah mereka. Mereka bahkan tidak tahu seperti apa rupa mereka sendiri.
They could only see the darkness.....

Duh! Sedih membayangkan mereka yang terlahir buta. Apakah mereka mampu membayangkan wujud dari apa yang mereka raba dan apa yang mereka cium seperti layaknya orang normal melihat sesuatu?