Tuesday, September 21, 2004

Beda Selera

Kenapa gue lebih suka belanja baju sendiri?

"An, loe kalo nyari baju yang warnanya cerahan sedikit dong." Itu komentar salah seorang teman gue ketika malam itu kita berada disebuah mal di kebayoran baru. "Nih, yang kayak gini." Ia menyodorkan sebuah blus berwarna orange mangga dengan aksen renda didada. Gue melongo. Alamak! Warnanya bikin sakit mata orang yang liat.
"Enggak ah, nggak suka." Jawab gue. Gue kembali mengamati atasan kaus katun warna coklat polos tanpa detil apa2 ditangan gue. Hhm, bagus nih. Tiba2 temanku ini menepuk pundak gue.
"Ya ampun! Warna gitu lagiii... warna gitu lagi." Komentarnya.
"Kenapa sih loe? Kan gue yang maok make." Gue agak2 sewot.
"Sekali-kali dong, An.. cari tuh yang warnanya ceraaah,.. sini deh gue yang pilihin!" Katanya. Hehehe. Dia yang mo pilihin buat gue? Waaa,.. jangaaan... tidaaak.. Soalnya gue tauk banget ciri khas dan warna2 baju yang dia suka. Temen gue yang satu ini modis feminin. Suka dengan warna2 merah, pink, kuning, orange, plus baju2 dengan aksen renda, kerah V, ruffles, dan model2 plus warna2 yang menurut gue too feminin buat gue. Masalahnya sih bukan karena gue sok nggak feminin apa gimana, tapi lebih karena gue gak biasa dengan warna dan baju2 dengan model seperti itu. Ribet! Dari dulu gue emang gak pernah modis kok. Bukan karena gue nggak perhatian sama penampilan, tapi gue lebih menyukai baju2 dengan model yang simpel. Bayangan gue, baju2 keren yang feminin dan trendy plus yang warnanya mencolok pasti menarik perhatian orang. Nah! Itu dia... Gue paling sebel diperhatikan orang- meskipun toh cuma sebatas baju gue yang mereka lihat. Hehhehehe... *gue bener2 gak cocok jadi selebriti*
"Nih! Coba deh, pasti cukup buat loe." Teman gue itu udah menyodorkan lagi atasan berbahan lycra warna pink dengan kerah sabrina. Ckk..ckk..ckk... masih semangat aja maksa gue make baju sesuai selera dia. OMG. Kalaupun gue nekat make- bisa2 malah gue diketawain temen2 gue yang lain. Minimal bisa pada terheran-heran.
"Elo tuh yaa,.. masak gue pake pink? kulit gue kan gelap! nanti cuma bajunya doang dong yang keliatan?" Protes gue setengah meledek.
"Ah! Banyak kok yang kulitnya item pada make baju yang warnanya cerah! Malah bisa bikin loe jadi keliatan cerah!"
"Eleeeuuh... maok cerah- maok mendung kek, ya ga masalah ah!"
"Elo tuh belom nyoba udah gak suka."
"Emang gue gak suka! Apalagi lehernya! Tali beha gue bisa ngintip kemana-mana dong nih!"
"Pake beha yang tanpa tali dong."
"Tuh kan! Ribet ah! Udah deh, loe cari sendiri- gue cari sendiri."
Gue buru2 beranjak kesisi lain tempat itu sebelum dia kembali menyodorkan baju yang lain.

Makanya kalo gue lagi niat cari2, gue jarang pergi bareng sama teman [Sama Nina dan Raymond pun juga tidak]. Lagipula menurut gue lebih efisien kalo pergi sendiri. Bisa lebih fokus dan tenang tanpa perlu dikomentari. Lebih praktis dan lebih cepat.

Gue sendiri merasa nggak ada yang salah dan aneh dengan selera gue dalam memilih pakaian buat gue pakai sendiri. Raymond pun nggak protes walau dia sadar kalau isi lemari gue bener2 hampir 'nggak berwarna'. Semisal abu2, khaki, hitam, putih, hijau army, hijau telur asin, dan yang paling berwarna cuma biru. Memang selera warna gue tidak mencerminkan isi lemari pakaian perempuan. Dia suka menyebutnya sebagai 'warna2 busuk'. Nina dan adik gue pun sampai hafal dengan warna2 favorite gue, sampai2 tiap kali melihat baju/barang dengan warna2 itu mereka akan teringat gue, "tuh, warnanya mamimu*" [*red : mamimu is my nickname on my family].

Abis gimana? Namanya juga selera- udah bawaannya sih!

Friday, September 17, 2004

Kepikiran

Di sela2 perasaan geram gue ke siapa pun pelaku teror bom di Kedubes Australia kemaren, ada terselip pikiran2 childish dibenak gue seperti :

1. Terpikir susahnya buat bekerja dengan nyaman tanpa perasaan waswas di distrik Kuningan belakangan ini *tapi sekarang2 ini dimanapun di Jakarta kita memang harus lebih ekstra waspada. iya kan?* Hhh.... berkantor di Sudirman, Thamrin, & Kuningan sekarang2 ini harus tahan deg2an, bermental baja, dan stay alert! Buka mata lebar2. Wah, rese.

2. Terpikir bagaimana perasaan mereka yang pernah mengalami peristiwa bom di Hotel Mariott tahun lalu dan kembali harus mengalaminya sekali lagi kemarin itu. Arrghh! Gue pikir2, bunyi petasan pun nantinya bisa membuat mereka trauma. Panik & terguncang.

3. Terpikir repotnya pemda dan para pengelola gedung di kawasan tersebut. Haduh! Baru juga selesai merenovasi gedung2 dan kawasan disitu- sekarang sudah harus siap2 buat renovasi lagi. Mangkel nggak sih? Para supplier bahan bangunan dan peralatan yang mungkin diuntungkan dalam hal ini. Tapi gue yakin mereka pun sepastinya juga mengutuk kejadian ini. Selain para b*****t yang nggak punya hati dan perasaan, siapa sih yang menginginkan hal seperti ini terjadi?

Thursday, September 09, 2004

A bomb exploded. once again.

That day was a shiny morning around 10 am, I was just stepped out from a cab when I felt the earth was shaking along with a big blast sounds from I didn't know where. I stood there where I was. Stunned. *What the h*** was that?* I was not the only one who was taken a back at that moment. Within a second I saw people coming out to the street with puzzle looked in their eyes like mine. Most of them were looked at the sky and I heard some people were mentioned something about a bomb explotion but they didn't know where yet.
What a fool I was! I didn't thought about a bomb. I thought that it might be the effects when people bringing down the building- somewhere nearby. *moron*
When I got into my office, everyone told me about how the building- walls and windows, were shaking hard while all the lamps were all blinking. But the lights was not out. Then the news spread very quick that some bastards has exploded the Australian Embassy at Kuningan. Wow! I'm sure this one was bigger than the expotion last year at JW Mariott Hotel because we all could feel and hear it from here- at a distance. But another bomb? Again?
I dont understand. Whoever did this- they are only a bunch of cowards! For whom the bomb were supposed to? To all civilians? Do they think what they doing is fun? If they would trying to attack western people, just do it right there in their countries! Not here! *Well, ofcourse I'm not serious, sure I dont want this happend anywhere in the world. I just dont understand why those people doing this*
I cursed the persons who did that! And may later you all rest in hell for eternity.

Wednesday, September 08, 2004

Ke Dokter Gigi

Semua orang yang kenal dekat sama gue tauk kalo gue paling takut berurusan sama dokter. Apalagi yang namanya dokter gigi! *Gak heran kan kalo gigi gue parah banget* Beuh! Payah! Tapi alhamdulilaah deh seumur hidup gue jarang sakit yang mengharuskan gue ketemu dokter. Aduh jauh2 deh *Ya Allah, plis jauhkanlah aku dari segala penyakit* Jaman gue masih di esde, ke dokter gigi cukup sering, itu juga karena masih didorong2 orang tua. Padahal gue takutnya bukan main sama yang namanya dokter gigi beserta segala instrumen diruang praktek mereka. Baru menunggu giliran di ruang tunggu pun dengkul gue udah lemas rasanya. Dokter gigi gue jaman esde lokasinya nggak jauh dari rumah orang tua gue. Jadi cukup sering terjadi kejadian dimana gue diem2 pulang lagi kerumah sementara orangtua gue masih duduk diruang tunggu menanti giliran gue dipanggil *Rese ya gue?* Dan gue sudah nggak inget lagi kapan gue terakhir kali dateng ke dokter gigi. Pada dasarnya tiap kali gue kesana, meski buat kebaikan gue sendiri, pastinya bukan dengan sukarela. Jadi seringkali gue diomeli dokter karena kemalasan gue buat rutin datang periksa [waktu itu gue masih pake kawat gigi], mangkir dari appointment, dsb. *shame on me*

Sudah sebulan belakangan ini tambalan permanen di geraham kiri bawah gue hancur separuh membentuk lubang. Wah, nggak enak banged! Makan sedikit aja langsung masuk kedalam lubang. Very Irritating, tapi gue tetep nggak berani ke pergi dokter. Apalagi buat datang ke dokter gigi gue yang lama. Gue yakin banget dia pasti udah males dan nggak maok lagi ngurusin gue. Ceritanya tadi malem gue terinspirasi buat nambal di RS Fatmawati aja [Daripada gue bingung sendiri maok ke dokter yang mana]. Gue punya pendapat, karena sibuk dan banyaknya pasien- hubungan dokter2 di RS ke pasiennya lebih 'alakadar'nya ketimbang dokter2 praktek yang umumnya 'menghafal' dan benar2 mengenali pasiennya satu2 persatu [spt dokter gue yang lama itu]. Memang sih, harusnya yang begini lebih bagus karena si dokter ikut mengenali si pasien dan masalah2nya. But in my case, dokter lebih baik to the point aja langsung periksa. Kalau gue nggak mengeluh ya sudah. So, gue membulatkan hati buat datang ke RS.

Pagi ini sehabis mengantar Nina sekolah, gue langsung ke Fatmawati. Semangat! Semangat! *Jadi termotivasi karena takut besok2 nggak bisa makan enak*. Jam 8 kurang gue udah sampe disana. Bau khas RS mulai tercium. Alamak! Masih pagi tapi orang2 udah buanyak buanged. Karena baru pertama kali, gue harus daftar dulu sbg pasien baru. Jam 8.10 gue udah duduk menunggu giliran gue dipanggil. Bagus lah, ternyata gue "peserta" nomor 2. Kemungkinan gue nggak perlu nunggu dipanggil terlalu lama. Tapi baru juga sebentar gue duduk dikursi tunggu, gue mulai berkeringat dingin melihat banyaknya orang bolak balik lewat. Khususnya melihat mereka yang benar2 terlihat sakit atau yang lewat dengan didorong2. Yah, namanya juga Rumah Sakit, jeng. Gue mulai senewen, perut gue mulai terasa mules mual nggak keruan2, tangan gue bergetar dan rasanya oksigen diruangan itu makin berkurang. Nyiksa banget!

Akhirnya sekitar jam 8.30 nama gue dipanggil. Huh! 20 menit yg menyiksa finally over. Tapi jangan salah, penderitaan baru akan dimulai. OMG, udah lama banget gue nggak duduk di kursi periksa mengerikan ini. Jantung gue makin berdebar, gue makin keringetan. Mulai deh, gigi gue di korek2 sampe bersih dari bekas2 tambalan yang lama. Sebentar2 gue diingetin dokter buat mangap yang lebar. Hhhhh. Dan alat bor yg gue takutin itu akhirnya dipake juga. Oh, no! Baru melihat alat itu dipegang, my legs felt like jellies already. Ngilunya bukan main. Ternyata lubang di gigi gue itu dalam sekali dan belum sepenuhnya mati [syarafnya].
Jam 10.40 tambalan sementara gue baru selesai. Lama banget euy! Padahal gue masih punya satu gigi lagi yang berlubang, tapi dokter bilang minggu depan aja. Selesai ditambal gue harus ke Bagian Radiologi lagi buat di rontgen. Proses rontgen-nya cepet, tapi gue harus nunggu hasilnya 30 menitan lagi. Eleuh, nunggu lagi.. nunggu lagi!
Baru jam 11.00 hasil rontgen sudah selesai. Gue langsung ngantor. Sampe kantor pas banget jam 12 teng! Siang lagi panas2nya pak! Tapi setidaknya sekarang gue berkeringat normal- bukan keringat dingin lagi.
Dan Selasa minggu depan siksaan akan kembali dimulai.

Btw, akhirnya kacamata gue yang lama pecah juga tadi pagi. Soalnya gue gak inget kalo semalam gue geletakin gitu aja di karpet. Pagi ini nggak sadar keinjek gue sendiri sampe remuk. Oh! Kacamataku...